Sabtu, 07 Mei 2011

FENOMENA BULAN PERNAH TERBELAH


Sisa-sisa terbelahnya bulan pada masa lalu? Mungkin saja. [klik]

Pertanyaan itu datang dari beberapa sejawat yang ‘katanya’ pernah membaca sebuah artikel di Majalah Hidayatullah Edisi Januari 2007 lalu juga mendapatkan selebaran via email dan sempat beredar dari milis ke milis (saya juga sempat mendapatkannya). Beberapa blog sebenarnya sudah mengangkat juga masalah ini tapi saya merasa belum memperoleh jawaban yang memuaskan.
.
dan masih banyak lagi..
.
Sampai akhirnya saya temukan jawaban yang cukup ilmiah dari Anggota Pakar JAC sdr. Marufin Sudibyo dan Bapak T. Djamaluddin (Peneliti Astronomi Antariksa LAPAN Bandung) lewat personal webnya.
..
..
Mukjizat tak Harus Dijelaskan
.
Majalah internal LAPAN, FOKKAL Volume 7 Nomor 1 2007, memuat tulisan “Benarkah Bulan Pernah Terbelah?” yang diambil dari bebagai sumber. Saya kira sumber utama (termasuk gambar) dari internet, antara lain http://sukmayana.blog.com/Moon/ dan http://www.aulia-e-hind.com/Prophet.htm.
.
Sebelumnya di beberapa milis yang saya ikuti, hal serupa pernah di-forward dan pernah saya tanggapi. Kini muncul di majalah internal LAPAN. Saya khawatir, bagi orang luar yang sempat membacanya, spekulasi bahwa bulan pernah terbelah secara fisik dianggap mendapat pembenaran karena dimuat di media terbitan LAPAN, lembaga yang terkait dengan riset antariksa. Karenanya saya perlu mengklarifikasinya.
.
Interpretasi gambar permukaan bulan yang menunjukkan kanal panjang sebagai bukti bahwa bulan pernah terbelah dan kabar seolah-olah ada pakar antariksa dari Amerika Serikat yang pernah ke bulan membuktikannya, bukanlah interpertasi dan informasi yang benar. Lihatlah sumber gambar asli dan penjelasnnya di http://apod.nasa.gov/apod/ap021029.html. Tidak ada penjelasan bahwa itu bukti bulan telah terbelah dalam foto tersebut.
.
Gambar itu hanyalah salah satu kanal sempit (disebut rille) yang dinamakan Ariadaeus Rille. Kanal seperti itu banyak terdapat di permukaan bulan dan bentuknya bermacam-macam, ada yang hampir lurus (seperti Ariadaeus Rille tersebut), ada juga yang berkelok-kelok (seperti Hadle Rille). Panjangnya bisa ratusan km, lebarnya beberapa kilometer, dan dalamnya bisa ratusan meter. Pembentukannya dari proses aktivitas geologis permukaan bulan, bukan karena celah bekas bulan terbelah. Jadi, anggapan bahwa kanal itu adalah bukti bahwa bulan pernah terbelah sangat mengada-ada.
.
Benarkah bulan pernah terbelah? Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Mekanisme fisisnya pun sulit dijelaskan, karena kalau pun benda langit bisa saja terbelah atau pecah akibat efek pasang surut planet atau bintang induknya, tetapi tidak mungkin bersatu kembali. Ahli matematika Perancis Edouard Roche menyatakan ada suatu jarak minimum dari planet atau bintang induk yang bila dilampaui akan menyebabkan benda yang mengorbitnya akan pecah. Batas minimum itu dikenal sebagai Limit Roche yang tergantung ukuran dan kekuatan benda langit menahan gaya gravitasi planet. Bulan yang kelihatan kokoh pun akan hancur berantakan bila (karena suatu sebab) melewati Limit Roche-nya, masuk dalam orbit yang jaraknya kurang dari 18.000 km dari bumi. Saat ini (termasuk pada zaman Nabi) bulan masih berada pada jarak yang aman 384.000 km.
.
Saya mempercayai adaya mukjizat Rasulullah yang menunjukkan bahwa bulan terbelah yang dikaitkan dengan asbabun nuzul QS 54:1-2. Tetapi itu tidak harus berarti secara fisik bulan terbelah. Bisa jadi, itu hanya fenomena di atmosfer bumi yang menyebabkan bulan tampak terbelah. Mukjizat memang tidak harus difahami dengan ilmu pengetahuan atau harus dicocokkan dengan logika ilmu pengetahuan. Mukjizat hanya cara menunjukkan kekuasaan Allah yang diberikan kepada Rasul-Nya. Kita harus menyakini adanya, tetapi tidak harus menalar bagaimana hal itu bisa terjadi.
.
Mu’jizat Nabi Musa AS membelah laut Merah, kita yakini benar terjadi karena dibuktikan dalam kisah Nabi Musa dapat menyeberanginya, tetapi kita tidak perlu mengkaji bagaimana mekanisme fisisnya. Mu’jizat Nabi Muhammad SAW membelah bulan juga kita yakini terjadi, tanpa perlu mengkaji proses fisisnya, apalagi terlalu jauh berspekulasi menjelaskan dengan informasi ilmu pengetahuan yang keliru.
.
Salam,
T. Djamaluddin
(Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, LAPAN Bandung)
.
.
Sementara Marufin Sudibyo yang eks. Teknik Nuklir UGM dan puluhan tahun menggeluti dunia astronomi amatir juga menjadi anggota Pakar di Jogja Astro Club menyampaikan dari sudut pandang yang berbeda. Berikut penjelasannya:

Shaqq Al Qomar dalam perspektif Astronomi





Mukjizat terbelahnya bulan (Shaqq Al Qamar)
Mukjizat terbelahnya Bulan (shaqq al-Qamar) pernah saya baca sekilas di satu buku kecil pas dulu kluyuran di Bandung. Namun bukunya ringkas sekali, meski lengkap dengan hadits2-nya tapi tidak jelas bagaimana status hadits itu dalam sanad dan matan-nya. Ringkasnya, ketika penduduk Makkah meminta agar Nabi SAW membelah Bulan, maka Nabi SAW dan penduduk Makkah naik ke Jabal Qubais (gunung batu di timur Makkah). emudian Nabi SAW mengacungkan telunjuknya ke Bulan, dan terbelah-lah sang Bulan. Separuh belahan Bulan bergerak ke kiri sementara separuhnya lagi bergerak kekanan, lalu bergerak lagi dan menyatu di tempat semula. Ini membuat penduduk Makkah demikian takjub meski sebagian dari mereka tetap saja dalam kekafirannya.
Fenomena ini teramati juga oleh sejumlah karavan dagang yang sedang dalam perjalanan ke Makkah, pun teramati di Malabar (India barat daya) oleh raja Chakrawati Farmas dan disebutnya sebagai “kabar dari langit” tentang tanda2 kenabian yang telah turun di Arab. Kini di lereng barat Jabal Qubais telahdidirikan sebuah mesjid kecil untuk mengenang peristiwa ini. Namun bagaimana ‘nasib’ mesjid kecil ini pasca perluasan istana Kerajaan Saudi di Makkah yang juga berlokasi di Jabal Qubais, saya belum tahu.
(Catatan : Jabal Qubais menurut cerita orang Arab dalah gunung tertua di Bumi.) Ini bukan sekedar dongeng. Tanah Arabia bagian Barat tempat kota Makkah berdiri adalah bagian dari Arabian Nubian Shield yang usianya sangat tua, dimana batuan metamorfikofiolit-nya terbentuk 870 juta tahun silam. Sementara mayoritas pegunungan di Bumi – kecuali Appalachia -umurnya kurang dari 300 juta tahun, yang terbentuk kala lempeng2 tektonik mulai eksis bersamaan dengan pembelahan superkontinen Pangea. Meski 50 km di utara Jabal Qubais terdapat “ujung” zona kelurusan Makkah-Madinah-Nufud yang menjadi tempat berdirinya vulkan rekahan Harrah Rahat nan gigantik dengan endapan lava alkali basaltiknya dan lahir 10 jutatahun silam, namun aliran lavanya tidaklah menjangkauwilayah Jeddah-Makkah-Thaif. Ini ditunjukkan oleh batuan dasar Makkah yang berupa batuan beku diorit, dan kemungkinan Jabal Qubais pun tersusun oleh diorit). Maaf ngelantur.. kembali ke laptop.
Estimasi Waktu dan Daya Pisah Mata
Mari mengestimasi dulu waktu terjadinya shaqq al-Qamar ini. Saat itu Nabi SAW belum berhijrah, maka shaqqal-Qamar terjadi beberapa waktu (bulan/tahun ?) sebelum Oktober 621 CE. Saat shaqq al-Qamar terjadi Nabi SAW dan penduduk Makkah berdiri di lereng Jabal Qubais yang menghadap ke Ka’bah, yakni lereng Barat, maka kemungkinan besar pandangan pun terarah ke Langit Barat sehingga azimuth Bulan saat itu berada dalam rentang 180° – 360° . Shaqq al-Qamar terjadi diwaktu malam, sebelum mayoritas penduduk Makkah tertidur namun selepas shalat Isya’. Awal Isya’ di Makkah dalam setahun Julian berkisar antara pukul 19.00 – 20.30 Waktu Makkah. Maka dapat saja kita asumsikan shaqq al-Qamar terjadi jam 21.00 waktu setepat. Shaqq al-Qamar juga disaksikan di Malabar, yang beda waktu-nya 2,5 jam dibanding Makkah (Makkah = GMT+3, Malabar = GMT+5,5) maka di Malabar pada jam 23.30 waktu setempat tentunya Bulan pun belum terbenam.
Karena Raja Chakrawati beranggapan shaqq al-Qamar adalah kabar dari langit tentang kenabian yang telah turun di Arab, mari asumsikan “tradisi” astronomi zaman itu (mengambil analogi ‘bintang’ Betlehem yang menuntun orang2 Majusi ke tanah Palestina) masih berlaku, sehingga Bulan berada di arah Arabia jika dilihat dari Malabar, alias azimuth Bulan sejajar dengan busur Malabar-Makkah. Maka, menggunakan titik acuan kota Bhuj (23°17′ LU – 69°40′ BT) di wilayah Malabar/pantai barat India, bisa diestimasikan azimuth Bulan saat itu di sekitar 270°, atau persis diarah Barat setempat.
Menggunakan segala asumsi tadi, pemodelan2 sangat kasar lewat software MoonCalc v6.0 untuk Bhuj menunjukkan waktu terjadinya shaqq al-Qamar dapat dikerucutkan disekitar bulan Mei-Juni (tahunnya tidak diketahui, yang jelas pada range 609 – 621 CE), mengingat hanya pada saat2 itu Matahari (demikian juga Bulan) memiliki azimuth disekitar 270°. Untuk penanggalan qamariyah-nya, waktu mengerucut pada tanggal 5 – 8 ketika Bulan berada di kuartir pertamanya dengan fase setengah lingkaran, karena hanya pada rentang tanggal itu Bulan masih berada di langit Barat serta masih cukup tinggi untuk Makkah dan seluruh Semenanjung Arabia (sekitar 30°-40°), namun sudah rendah untuk Bhuj (sekitar 10°-15°).
Sekali lagi, ini hanya rekonstruksi teramat kasar. Kemampuan alat optik untuk melihat dua buah benda berjarak sangat jauh tetap terpisah bergantung pada Kriteria Rayleigh yang memiliki bentuk matematis berikut :
alfa = (1,22 x lambda)/d
Dengan alfa = dayapisah alat optik (radian), lambda = panjang gelombang cahaya yang digunakan (meter) dan d= diameter lensa/cermin utama alat optik (meter).
Untuk mata (d = 5 mm, sensitif pada lambda = 6.000Angstrom), alfa = 0,15 miliradian (0,5 menit busur). Sultan (Sultan, 2003) menyebut daya pisah ini berlaku di atmosfer dalam kondisi pencahayaan yang baik. Untuk amannya, lipatduakan saja nilai itu menjadi 0,3 miliradian (1′). Dengan jarak surface-to-surface Bumi-Bulan bervariasi dari 348.300 km (perigee) hingga 398.600 km (apogee), maka alfa =0,3 miliradian berkorelasi dengan benda sebesar 104 km (saat perigee) – 120 km (saat apogee) di permukaan Bulan.
Artinya, hanya benda2 bergaris tengah melebihi 120 km saja yang bisa terlihat oleh mata manusia (makac erita tentang Tembok Besar China nampak jelas dari Bulan dengan mata telanjang itu hanya mitos).
Sebagai pembanding, instrumen WFPC-2 (Wide Field Planetary Camera-2) di Hubble Space Telescope yang super sensitif pada cahaya Ultraviolet dekat ‘hanya’ bisa melihat benda sebesar 60 meter di permukaan Bulan. Dengan memperhitungkan batas daya pisah mata manusia ini maka ada beberapa kemungkinan fenomena yang jika dilihat dari Bumi mengesankan shaqq al-Qamar :
1. Bulan Benar2 Terbelah secara Fisik.
Jika Bulan benar-benar terbelah secara fisik maka jelas ada bekas patahannya sehingga bulan – yang saat itu kemungkinan berfase setengah lingkaran – benar-benar terbelah, bidang pembelahan itu kemungkinan besar sejajar dengan ekuator maupun bujur nol-nya. Belahan Utara dan Selatan Bulan (atau Barat dan Timur, jika bidang pembelahannya sejajar bujur nol) akan terpisah sejenak hingga berjarak minimal 120 km, untuk kemudian menyatu kembali.
Jika ini terjadi, tentu bidang pemisahan itu masih ada jejak2nya yakni sebagai patahan panjang yang membentang sejajar ekuator Bulan maupun bujur nol. Jika suatu blok batuan mendadak terpatahkan (apalagi terpisah) untuk kemudian merekat kembali, dibutuhkan ‘lem’ teramat kuat agar patahan itu tidak bergeser lagi. Secara geologis ‘lem’ itu adalah magma yang terekstrusi keluar lewat erupsi rekahan, tentunya dengan volume sangat gigantik untuk kemudian membeku dan mengikat kedua sisi yang terpatahkan tadi. Dan karena batuan setempat mengalami kontak dengan magma Bulan, tentu terjadi proses metamorfosa kontak yang menghasilkan batuan metamorf kontak nan khas.
Sejauh ini – merujuk NASA – vulkanisme Bulan terakhir kali terjadi jutaan tahun silam dan tak ada yang berumur Holosen (kurang dari 10.000 tahun), apalagi Resen (kurang dari 1.000 tahun). Citra2 permukaanBulan juga tidak menunjukkan jejak patahan sangat panjang yang sejajar ekuator. Demikian pula, citra2 Bulan pun tidak menunjukkan adanya sisa2 erupsi rekahan memanjang yang sejajar ekuator maupun bujur nol. Magma Bulan bersifat basaltik – mirip magma dari mantel Bumi – sehingga bila muncul ke permukaan tentunya menghasilkan endapan2 kegelapan yang mudah diidentifikasi. Misi Apollo 11, 12 dan 14 memang mendarat di dekat ekuator Bulan, namun di lokasi2 pendaratannya tidak dijumpai endapan lava basaltik “segar” produk erupsi masa Resen.
Para astronot Apollo memang menjumpai batuan basalt Bulan, breksi Bulan dan metamorf. Namun basalt dan breksi Bulan ini sudah cukup tua – produk vulkanisme berjuta tahun silam – sementara batuan metamorf-nya pun cukup tua juga dan malah menunjukkan ciri-ciri metamorfosis tekanan seperti yang umum dijumpai di kawah-kawah produk tumbukan benda langit. Sementara rille atau straight rimae – yang disebut-sebut sebagai jejak terbelahnya Bulan – itu tidaklah terkonsentrasi di area sejajar ekuator Bulan maupun bujur nol Bulan, namun tersebar secara random. Memang terdapat rille sejajar garis bujur nol, yakni satu rille cukup panjang di Mare Nubium (belahan selatan) dan kompleks rille Ariadaeus yang lebih pendek (belahan utara). Namun keduanya terlokalisir disekitar equator saja, tidak memanjang hingga kutub-kutub Bulan. Maka sulit untuk mengatakan duarille ini sebagai jejak patahan kala Bulan terbelah.Lagipula, seandainya patahan ini ada, tentu wahanaantariksa semacam Clementine sudah bisa mendeteksinya sejak diluncurkan 1994 silam, karena bekas2 aktivitasgeologi Resen di Bulan senantiasa menghasilkan polafotometris (pada rasio UV/cahaya tampak maupun citra OMAT/Optical Maturity) yang lebih “biru”.
Bisa saja memang jejak2 patahan di Bulan tersembunyi di balik debu tebal hasil pelapukan batuan Bulan, meski hal ini sulit dibayangkan karena aktivitas pelapukan di Bulan sepenuhnya dikontrol angin Matahari dan radiasi kosmik dengan kecepatan pelapukan jauh lebih lambat dibanding pelapukan di Bumi. Untuk mengetahui keberadaan patahan yang terkubur itu musti diketahui penampang melintang batuan Bulan hingga kedalaman beberapa km, yang bisa dibuat menggunakan bantuan gelombang gempa Bulan. Secara teknis hal inimemungkinkan, karena meski Bulan tidak memiliki lempeng tektonik dan vulkanisme-nya sudah mati, Bulan tergolong aktif secara seismik.
Sedikitnya terdapat empat tipe gempa Bulan, yakni gempa dalam (hiposentrum> 700 km) akibat gaya tidal, gempa tumbukan meteorit, gempa termal oleh pemuaian kerak Bulan saat terpanasi cahaya (Matahari setelah dua minggu tergelapkan dan terdinginkan) serta gempa2 dangkal (hiposentrum 20 -30 km) yang sumbernya belum jelas. Gempa2 ini saya kira bisa dimanfaatkan untuk tomographic imaging padabagian dalam Bulan, termasuk untuk mencari patahan itu.
.
2. Bulan “terlihat” Terbelah
Alternatif Pertama disebabkan oleh tumbukan benda langit (komet/asteroid) di Bulan, dimana ejecta-nya dihamburkan ke titik2 yang jauh dari kawah tumbukan dan membentuk endapan2 khas yang disebut “ray”. Disini memang tidak terjadi pembelahan Bulan secara fisik, namun ray yang melintang di permukaan Bulan memberikan kesan luar biasa, karena lebih cerah dari lingkungan sekitarnya sehingga dari Bumi bisa terlihat seolah ‘terbelah’. Agar tumbukan benda langit bisa menghasilkan ray sejajar ekuator Bulan, harus dipenuhi syarat berikut.
Pertama, titik tumbuknya harus di dekat garis bujur 90° BB atau 90° BT. Kedua, diameter benda langititu harus cukup besar, sehingga lebar ray-nya (untuk diameter ejecta tertentu, anggaplah > 10 cm) mampu melebihi lebar minimum 120 km sementara panjangnya hampir menjangkau area pusat cakram Bulan (dilihat dari Bumi). Ketiga, dilihat dari titik tumbuk, benda langit tersebut datang dari ketinggian sangat rendah (oblique impact) sehingga bentuk kawah tumbukannya sangat eliptik seperti kawah2 tumbukan di Rio Cuarto, Argentina (Paillou dkk, 2004). Sejauh ini ada beberapa ray di Bulan dan yang fenomenal adalah ray di belahan selatan (panjangnya >1.000 km) yang bersumber dari kawah Tycho. Kawah ini terbentuk 109 juta tahun silam sehingga setting waktunya sulit dikaitkan dengan shaqq al-Qamar. Kawah termuda (untuk diameter > 10 km) yakni Giordano Bruno, kemungkinan terbentuk pada 1178 CE, namun diameternya ‘hanya’ 20 km sehingga lebar ray yang diproduksinya pun berkisar 20-an km saja, tidak melebihi 120 km. Didekat garis 90° BB dan 90° BT pada region ekuator memang dijumpai sejumlah kawah elliptik, namun usianya pun sudah sangat tua.
.
Alternatif Kedua disebabkan Transit Meteor dengan Bulan dimana meteor nampak melintas di depan Bulan. Fenomena ini murni terjadi di atmosfer Bumi dan sangat jarang terjadi. Disini meteor itu harus memiliki apparent diameter minimum sebesar 1′ (menit busur), maka kecemerlangannya harus melebihi terangnya Venus sehingga meteor itu adalah berupa fireball. Bila fireball-nya cukup banyak (sebagai storm), kolom udara yang dilintasinya akan terpanaskan hingga indeks biasnya berubah secara cepat dan terjadi aliran udara (akibat perbedaan temperatur) sehingga Bulan pun nampak ‘bergerak-gerak’ (analog dengan bintang yang nampak berkedip-kedip).
‘Bergeraknya’ Bulan bersamaan dengan ‘terbelahnya’ langit oleh kilatan cahaya amat terang, mungkin saja mendatangkan impresi luar biasa mengesankan bahwa Bulan sedang ‘terbelah’ (Withers, 2001). Fenomena transit antara fireball dengan Bulan hanya bisa disaksikan dalam area terbatas. Di luar area itu fireball dan Bulan memang masih terlihat, namun tidak berada di titik yang sama. Hal ini yang mungkin menyebabkan terbelahnya Bulan hanya bisa disaksikan di semenanjung Arabia dan Malabar semata, meski faktor ketinggian Bulan pun harus diperhitungkan. Dari mana asal fireball ini? Ini bisa diprediksi jika waktu terjadinya transit diketahui dengan pasti (yakni pada tanggal berapa, jam berapa dan terlihat darimana). Dari sini bisa diperoleh perkiraan elemen orbit meteoroidnya pada beragam kecepatan yang mungkin sehingga bisa dikerucutkan kira2 meteoroid itu bersumber dari mana, apakah dari sabuk asteroid, pecahan asteroid AAA maupun sisa komet. Secara kasar -tanpa melakukan analisis lebih jauh – fireball yang bertransit dengan Bulan dapat berupa meteor sporadik maupun shower. Ia juga bisa berasal dari batuan Bulan sendiri yang terlontarkan ke Bumi oleh peristiwa tumbukan benda langit. Dalam hal ini sebagian ejecta produk tumbukan harus memiliki kecepatan cukup tinggi (v>2,4 km/detik, kecepatan lepas untuk permukaan Bulan). Secara kasar ejecta2 itu membutuhkan waktu ± 1 minggu guna menempuh lintasan (elliptik) dari Bulan menuju Bumi. Agar bisa mengarahkan ejecta-nya ke Bumi, tumbukan itu harus oblique impact dan letak kawah tumbukannya harus di sisi jauh (farside) Bulan namun berdekatan dengan batas sisi dekat-sisi jauh Bulan, yakni di dekat garis bujur 90° BB atau 90° BT. Tumbukan harus memproduksi ejecta besar (diameter > 10 cm) cukup banyak dan bergerak dalam satu stream sehingga ketika memasuki atmosfer Bumi guyuran ejecta2 besar ini akan menjadi badai fireball.
Karena terbelahnya Bulan hanya teramati dalam satu malam dan itu pun dalam selang waktu cukup sempit (asumsikan sekitar setengah jam), maka lebar stream ejecta ini harus jauh lebih pendek dibanding stream sisa-sisa komet yang menjadi sumber shower periodik di Bumi, dan kondisi ini memang hanya bisa muncul ketika terjadi tumbukan benda langit diBulan (Mims dkk, 1982).
..
Analogi Kejadian 25 Juni 1178 CE
Beratus tahun pasca shaqq al-Qamar, peristiwa yang mirip dilaporkan teramati oleh lima orang biarawan di Canterbury (51°17′ LU – 01°05′ BT), Inggris. Pada hari Senin 25 Juni 1178 CE (semula disebut 18 Juni, namun belakangan diralat) sejam setelah sunset, lima biarawan yang sedang duduk2 di satu bangku dan memandang ke arah Bulan tiba2 melihat Bulan (sabit) itu ‘terbelah’ dua pada ujung ‘tanduk’ atas-nya sembari menyemburkan asap dan kilatan cahaya. KemudianBulan sabit itu nampak bergerak-gerak seperti ular terluka, lalu diam kembali. Fenomena selanjutnya ini berulang hingga puluhan kali. Hartung (Hartung, 1976) menganggap peristiwa itu adalah tampilan visual dari tumbukan benda langit di Bulan.
Dari laporan itu bisa diidentifikasi sumber kilatan api dan asap berada di sekitar koordinat 45°LU 90° BT Bulan. Sangat mengesankan bahwa didekatnya, yakni pada koordinat 36°LU 103°BT Bulan, terdapat kawah Giordano Bruno (diameter 22 km) yang sirkular dan tanpa endapan debu tipis didasarnya, menandakan kawah ini masih sangat muda. Holsaple (Holsaple, 1993, dalam Withers, 2001) menunjukkan kawah ini dibentuk oleh benda langit berdiameter 1 – 3 km yang jatuh dengan range kecepatan 5-70 km/detik sembari menyemburkan ejecta sedikitnya 10 juta ton. Kawah Giordano Bruno adalah salah satu kawah Bulan yang memiliki sistem ray, dengan ray terpanjang (±1.000 km, mengarah ke azimuth selenografis 237°) setara dengan ray kawah Tycho, dimana kawah terakhir ini jauh lebih besar. Belakangan Hartung (Hartung, 1993) mengaitkan ray ini dengan shower Corvid (muncul 25 Juni – 2 Juli 1937) yang tidak bisadikaitkan dengan komet manapun dan tidak pernah muncul sebelumnya. Teramat jarangnya kemunculan shower Corvidmenunjukkan ia diproduksi oleh sumber yang terbelah/terpecah di masa Resen.
Dengan memperhitungkan koordinat shower ini (RA : 12°, Dec: +19°) terhadap (hipotesis) waktu terbentuknya Kawah Giordano Bruno dan arah azimuth selenografis ray utama-nya, Hartung tiba pada kesimpulan bahwa ejecta dari Giordano Bruno-lah yang menjadi sumber meteoroid Corvid. Sifat tumbukan benda langit pembentuk Kawah Giordano Bruno adalah nyaris obliqe impact, datang dari azimuth selenografis 57° sehingga lontaran ejectanya dominan ke azimuth selenografis 237°. Eksperimen laboratorium oleh Gault dan Fechtig (Gaultdkk, 1963; Fechtig dkk, 1978, dalam Hartung, 1993) menunjukkan ejecta berkecepatan sangat tinggi (v>2,7 km/detik) mempunyai sudut elevasi hingga 60° terhadap horizon setempat dan inilah yang lepas ke angkasa dan menjadi meteoroid Corvid.
Sementara ejecta2 lambat (v<2,4>
Sangat mengesankan bahwa di Korea pada 11 Oktober 1178 CE malam muncul badai meteor demikian intensif yang mengarah ke Barat namun hanya terjadi semalam saja. Badai meteor ini tak bisa dikaitkan dengan shower2 utama yang telah dikenal, sehingga Mims menyimpulkan badai meteor ini berasal dari ejecta2 berkecepatan rendah produk tumbukan Giordano Bruno. Hipotesis Hartung ini mendapat sanggahan dari Ninninger (Ninninger dkk, 1977). Sulit membayangkan tumbukan bisa dilihat dari Bumi karena diameter kawah Giordano Bruno jauh lebih kecil dibanding kawah Clavius (diameter 230 km) dan Copernicus (diameter 96 km), dimana dua kawah terakhir ini pun hanya bisa diidentifikasi dengan jelas lewat teleskop. Ninninger juga menyanggah pendapat Hartung yang menyebut dalam tumbukan Giordano Bruno sempat terbentuk atmosfer temporer dengan indeks bias “udara”-nya beragam yang berakibat pada derajat pembiasan cahaya yang berbeda-beda di tiap titik, sehingga Bulan nampak bergerak-gerak.
Menurut Ninninger, ketika tumbukan menghasilkan gas, lingkungan dingin di Bulan membuat gas itu segera menyublim menjadi partikel2 padat yang lalu jatuh bebas ke Bulan. Menurut Ninninger, apa yang terlihat di Canterbury itu lebih merupakan peristiwa transit meteor terhadap Bulan. Sanggahan kritis dan komprehensif datang dari Withers (Withers, 2001). Berdasarkan citra2 bidikan Clementine, kawah Giordano Bruno disimpulkan berusia jauh lebih tua dibanding 800 tahun menurut pola fotometris (padarasio UV/cahaya tampak dan instrumen OMAT) yang dibentuknya, sehingga sulit dikaitkan dengan kejadian di Canterbury kecuali proses erosi di Bulan berjalan jauh lebih cepat dibanding yang diketahui saat ini. Lewat persamaan Neukum dan Ivanov (1994, dalam Withers, 2001), kawah Bruno diestimasikan terbentuk 350 juta tahun silam. Sementara berdasarkan umur absolut meteorit ALHA 81005, kawah Bruno diduga terbentuk sekurangnya 10.000 tahun silam (Warren, 1994 dalam Withers, 2001), namun sejauh ini relasi antara kawah Bruno dengan meteorit ALHA 81005 adalah lemah(Ryder & Ostertag, 1983 dalam Withers, 2001).
Vickery dan Melosh (Vickery, 1987; Vickery & Melosh,1991 dalam Withers, 2001) menunjukkan diameter ejecta dari tumbukan Giordano Bruno yang bisa ‘terbang’ keangkasa berkisar 0,1 – 10 cm. Tidak ada ejecta yang lebih besar dari 10 cm yang sanggup mengatasi gravitasi Bulan. Dengan menganggap 10 juta ton ejecta Giordano Bruno ‘diterbangkan’ ke Bumi secara langsung dan diameter ejecta adalah uniform pada angka 10 cm maka seorang pengamat di Bumi akan menyaksikan sebuah storm sepanjang 1 minggu penuh dengan 50.000 meteor/jam bila pengamatan dilakukan sampai 30 derajat dari zenith.
Meteor2 ini memiliki magnitude rata2+1,7. Intensitas storm ini masih di bawah storm Leonid1966 yang demikian fenomenal itu, namun jauh di atasrata2 shower lainnya yang telah dikenal. Sehinggastorm Giordano Bruno seharusnya bisa dilihat olehbanyak penduduk Bumi di berbagai benua. Namun sejauhini, di tahun 1178 CE itu hanya ada catatan storm dariKorea saja (yakni pada bulan oktober), sementaraastronom2 Eropa, Arab, Cina dan Jepang yang rajinmencatat fenomena2 unik di langit tidaklah menyaksikanstorm. Ini yang membuat Withers menyimpulkan hipotesisterbentuknya kawah Giordano Bruno pada 25 Juni 1178 CEadalah lemah.
.
Epilog
Jika peristiwa shaqq al-Qamar dicoba diinterpretasikan dengan pembanding kejadian Canterbury 25 Juni 1178 CE, maka salah satu penjelasan yang logis adalah peristiwa transit meteor dengan Bulan. Tumbukan benda langit di Bulan tetap bisa diperhitungkan, karena mungkin saja tumbukan tersebut yang menjadi sumber bagi meteor2 yang kemudian menjalani transit dengan Bulan ketika dilihat dari daerah di antara Makkah dan Malabar. Jika hal itu yang terjadi, maka tumbukan tersebut harus menghasilkan kawah yang kecil (jauh lebih kecil dibanding Giordano Bruno) sehingga memproduksi ejecta yang terbatas dan ketika masuk ke atmosfer Bumi menghasilkan storm dalam rentang waktu yang pendek (tidak lebih dari satu hari). Sangat mengesankan, apabila hipotesis sumber meteoroid Corvid dari Hartung itu bisa dipercaya, menggunakan salah satu dari angka2 periode ulang shower yang diajukan Hartung (Hartung,1991) yakni 33 tahun dan tumbukan Giordano Brunoterjadi 10.000 tahun silam, maka kita mendapat kesan, selain pada Juni 1178 dan Juni 1932, shower Corvid ini juga bisa muncul pada bulan Juni 617 CE, hanya empat tahun sebelum Nabi SAW berhijrah.
Sementara menginterpretasikan shaqq al-Qamar dengan kejadian tumbukan benda langit itu sendiri, atau dengan terbelahnya Bulan secara nyata (sehingga menyisakan patahan nan panjang), sejauh ini, bukti2 nya lemah. Namun demikian tidak dapat langsung disimpulkan bahwa shaqq al-Qamar semata merupakan peristiwa transit meteor dengan Bulan. Ilmu itu dinamis. Dalam beberapa puluh tahun ke depan mungkin saja pengetahuan kita tentang Bulan akan sangat jauh berbeda dengan apa yang kita terima saat ini, dan saat itu interpretasi akan shaqq al-Qamar bisa jadi sudah lebih baik dibanding masa kini. Seperti pengalaman 1960-an silam. Ketika NASA mengarahkan Apollo-nya ke Bulan, pengetahuan tentang Bulan langsung melonjak berlipat tiga hanya dalam waktu sepuluh tahun dibanding pra-peluncuran Apollo, yang telah dikumpulkan dengan susah payah sejak masa Galileo.
Walaupun bukti-bukti secara empirik menunjukkan bahwa bulan pernah terbelah adalah lemah, saya sependapat dengan bapak DR. T. Djamaluddin dari LAPAN yang menyatakan bahwa kita mempercayai adaya mukjizat Rasulullah yang menunjukkan bahwa bulan terbelah yang dikaitkan dengan asbabun nuzul QS 54:1-2. Tetapi itu tidak harus berarti secara fisik bulan terbelah. Bisa jadi, itu hanya fenomena di atmosfer bumi yang menyebabkan bulan tampak terbelah. Mukjizat memang tidak harus difahami dengan ilmu pengetahuan atau harus dicocokkan dengan logika ilmu pengetahuan. Mukjizat hanya cara menunjukkan kekuasaan Allah yang diberikan kepada Rasul-Nya. Kita harus menyakini adanya, tetapi tidak harus menalar bagaimana hal itu bisa terjadi.